Selasa, 01 Februari 2011

Hiburan

Kyatapira (キャタピラー, Caterpillar): Dibikin untuk Anak Muda Jepun?


Kemaren baru aja nonton pilem Kyatapira, bikinan sutradara Wakamatsu Koji. Ini pilem masuk berita di beberapa koran nasional lantaran si pemain utama perempuan (Terajima Shinobu) diganjar piala di Festival pilem2 internasional di Berlin taon ini. Soal ini piala, ada semacam kebanggaan juga buat banyak orang pilem Jepun; bahwa Jepun bukan cuman soal anime melulu (dan budaya otaku) tapi juga mampu bikin pilem yang bermutu, menyentuh tema-tema kemanusiaan dan lagi, masuk hitungan di tengah derasnya pilem2 Iran dan tantangan kuat dari sutradara2 muda dari Asia Tenggara di kancah festival2 internasional (masih inget dong ama Joe Apichatpong?).

Menariknya pula, ini pilem dibikin dengan budget minim. Sampe2 juga, tidak ada biaya make-up buat si pemain utama perempuan itu. Jadinya juga di banyak adegan pilem dapet kita saksiken mimik/ ekspresi langsung si pemain. Ibarat nonton Kabuki minus oshiroi.

Udeh banyak ulasan soal pilem ini. Juga beragam wawancara dengan si sutradara Wakamatsu-san yang terkenal nyentrik dan si aktris Terajima-san. Salah satunya dalam phasa angkrit, bisa dicek di sini:

http://www.dissidenz-intl.com/2010/01/caterpillar-by-koji-wakamatsu/

Ini pilem emang punya pesan anti-perang yang sangat kuat. Dan pesan itu sering dilafal secara harafiah lewat banyak adegan2 yang ironis. Ini mungkin sebagai reaksi atas dunia politik Jepun kontemporer – seperti yang bisa kita baca dari wawancara dengan si sutradara. Dari luar, politik Jepun terlihat tenang mendayu-dayu tak ada riak, tapi di dalam ada desakan kuat dari partai konservatip untuk mengubah pasal 9 Konstitusi (yang bikin Jepun sbg negara pasifis tanpa angkatan perang). Partai konservatip juga memaksa didikan ala fasisme nasionalistik pake cambuk Monbusho di bangku sekolah2. Wakamatsu-san jelas menentang ini semua. Di dalam pilem sendiri, kata “okuni no tame” (demi negara, お国のため) yang menjadi mantra pada masa perang, terdengar jadi slogan ompong, yang diakhir pilem justru jadi bahan tertawaan macam usai menonton komedi Kyogen – bukan lagi Kabuki yang serius.

“Nasionalisme” ala konservatip vs. ala si sutradara

Partai konservatip (ini terdiri dari macam2 Jiminto aka LDP, Kokumin, dan konco2nya) dan juga si sutradara emang punya pendapat/opini masing2 soal “nasionalisme”, dan implikasinya buat anak muda Jepun.

Buat partai konservatip, anak muda Jepun udeh ngak punya rasa “nasionalisme.” Emblem bunga seruni emas yang jadi lambang negara Jepun (bukan sakura loh!) yang dulu punya status tinggi, tapi kini bagi anak muda Jepun itu tak lebih cuman tempelan di paspor merah mereka. Kata “nasionalisme” yang punya arti positip di Asia Tenggara, justru di Jepun sering dicap “ojisan kusai” (alias, kolot) dan bikin orang yang mendengarnya jadi was2 banget.

Buat banyak anak muda Jepun, daripada kena hujan batu di negeri sendiri lebih baik tinggal di Muangthai atau Korea adalah pilihan yang “rasional.”

Di dalem itu pilem sendiri, anak muda sering digambarkan sebagai karakter yang naïf, ditipu oleh angkatan tua, dan dibuat ikut-ikutan saja. Anak muda digambarkan tak punya pilihan lain kecuali ikut perang jadi tentara. Juga, gampang dikibulin untuk kerja2 bakti yang ndak masuk akal sama sekali: cangkul2 parit, tebang dan angkut pohon tiap hari. Semua untuk proyek2 perang, dilakoni karena “okuni no tame.” Buat si sutradara, “nasionalisme” anak muda adalah semu karena cuman hasil tempelan angkatan tua, dan karenanya langsung luntur begitu perang usai.

Jadi, bagi partai konservatip anak muda mesti dididik – kalo perlu dengan paksaan berdiri menghormati Hinomaru sambil nyanyi lantang Kimigayo – biar punya nasionalisme (kembali) shg bisa menghargai emblem bunga seruni emas. Sementara bagi si sutradara, anak muda mestinya jangan diracuni dengan slogan2 “nasionalisme” – selain kurang berguna (karena pasti akan cepet luntur juga akhirnya), tapi juga membodohi masyarakat untuk kepentingan langgengnya kekuasaan angkatan tua (alias, partai konservatip).

Asumsi yang sama

Walo partai konservatip dan si sutradara punya pendapat yang bersebrangan, tapi nampaknya mereka berpijak dari asumsi yang sama sebangun. Yaitu, anak muda Jepun adalah makhluk yang pasif. Mereka ibarat kertas polos. Bagi partai konservatip, kertas polos itu mesti ditulisi slogan2 nasionalisme ala Monbusho. Bagi si sutradara, kertas polos yang ditulisi slogan2 pastinya akan cepat luntur, jadi baiknya dibiarkan saja.

Tapi, apa betul anak muda Jepun adalah makhluk yang pasif? Apa mereka sebegitu polosnya?

Anak muda punya caranya sendiri!

Menariknya, ini pilem jadi bahan omongan di kalangan anak muda. Bukan cuman soal menang piala saja, tapi memang juga menawarkan sesuatu yang dirasakan “hilang” akibat didikan cambuk Monbusho. Walo ini pilem ndak diputar di bioskop2 utama (jelasnya, bukan di Movix yang norak itu!), tontonan kemaren banyak dihadiri anak muda juga. Secara umum memang ada semacam tren eksplorasi sejarah dalam dunia hiburan anak muda Jepun kini. Drama-drama berbau sejarah jadi tontonan laris di televisi Jepun sejak 3-4 taon terakhir. Tokoh ronin Sakamoto Ryoma jadi idol baru yang dipuja-puja; pernak-pernik bergambar Ryoma-chang jadi barang souvenir wajib di Kyoto (apa hubungan Ryoma ama Kyoto silahken tanya paman google). Dan memang, ini semua produk geliat kapitalis lokal yang sedang mencari pasar di kalangan anak muda.

Tapi di balik itu semua, ada semilir angin nan konstan ditiup sekelompok anak muda yang berani mematahkan cambuk Monbusho – semata2 karena “rasa ingin tahu”.

Matsubayashi Yojyu, misalnya, sudah bikin satu pilem dokumenter Hana to Heitai (Bunga dan Pasukan, 花と兵隊), yang bercerita tentang zanryuhei (tentara yang tidak kembali ke Jepun usai perang) yang mbandel tinggal di Muangthai usai PD2 berakhir. Untuk lengkap tentang pilem ini silahken klik: http://www.hanatoheitai.jp/ (dalem Nihongo loh!).

Zanryuhei” (残留兵) adalah istilah yang baru dibikin untuk deskripsi fenomena ini, dengan menggunakan elemen “ryu” (luar) untuk menghargai “pilihan” para tentara ini untuk tidak kembali ke Jepun – karena sebelumnya, mereka dicap “desersi” ato malah “pengkhianat.”

Matsubayashi-san bikin pilem dokumenter ini sehabis berjalan2 di Muangthai, dan rasa ingin tahunya saat itu membawanya menemui para ojisan yang tidak dikisahkan dalam buku2 pelajaran sejarah. Matsubayashi-san jelas prototipe anak muda Jepun yang berani berpikir alternatip di luar pakem2Monbusho untuk menyusun sendiri “sejarah”-nya dalam pergulatan identitas sebagai “orang Jepun.”

(Langkah serupa juga ditempuh oleh beberapa anak muda Jepun lainnya di Filipin dan di Indonesia - ada satu anak muda Jepun yang mewawancarai para zanryuhei di Indonesia: http://www.nusantara-news.com/2009/08/buku-tentang-mantan-tentara-jepang-yang-menetap-di-indonesia-diluncurkan.html)

Juga ada Oguma Eiji, sejarahwan muda yang berani nentang konstruksi sejarah bikinan birokrat Monbusho. Oguma-san, lewat buku2 tulisannya yang secara khas tebelnya minta ampun, mbuktiken bahwa apa yang disebut “orang Jepun” adalah hasil campur baur, adopsi dan akusisi berbagai ragam budaya. Oleh karenanya, klaim “homogenitas masyarakat Jepun” adalah palsu dan tanpa dasar sama sekali. Argumen Oguma-san ini memaksa para politikus konservatip untuk mengakui bahwa mereka masing2 punya akar budaya dari Korea, Tiongkok, Okinawa dan juga, Asia Tenggara.

Dalam konteks demikian kiranya pilem Kyatapira bisa kita nikmati. Walo pilem ini menawarkan pencerahan yang mumpuni bagi anak muda Jepun, ia bukanlah puncak utama dari ketidakpuasan anak muda Jepun atas dunia politik yang carut marut. Sebab, anak muda punya caranya sendiri yang juga tidak kalah kreatip dari jalan pencerahan yang ditawarkan Wakamatsu-san.

Lalu, bagaimana anak muda Indonesia? Apa masih asyik membebek “nasionalisme” angkatan tua? Atau hanya sekedar ikut2an retorika “ganyang Malaysia”? Atau justru sudah melampaui itu semua dengan mbikin jalannya sendiri? Dan hari sudah semakin senja……

0 komentar:

Posting Komentar